Rahasia di Balik Foto Epic di Gates of Heaven

Hanya bermodalkan kepingan kaca hitam! Sebuah kreatifitas sederhana, memberi hasil yang sempurna 👌

Pura Lempuyang, salahsatu wishlist saya tiap ke Bali sejak lama. Sempat bertanya pada supir grab saat saya di Bali, ternyata lokasinya sangat jauh dari lokasi saya stay saat itu. Karena untuk ke tempat ini memang dibutuhkan perencanaan yang matang. Bukan saja karena lokasinya tapi juga untuk bisa mendapatkan apa yang saya (dan kaum pecinta konten lainnya) inginkan yaitu sebuah foto epic di gerbang Pura Lempuyang, sangat penuh perjuangan.

Gates of Heaven

Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, waktu terbaik untuk berkunjung ke Pura adalah saat pagi hari. Eh, pagiiiiii banget dink :p Jika beruntung kamu bisa mendapatkan pemandangan Gunung Agung yang super clear, juga kamu punya banyak kesempatan dapat foto yang bagus karena kemungkinannya belum ramai 😦

Yaakkss! Keramaian adalah salahsatu tantangan untuk bisa dapet foto bagus di tempat ini. Kalo kamu kesiangan antrian bakalan puanjaanggggg dan waktu untuk ambil foto relatif lebih singkat karena harus gantian dengan wisatawan lain. Coba bayangkan perasaan Mbak-mbak yang biasanya harus foto sampe ratusan cekrek tapi yang diupload cuma 1, kezel kann kalo waktunya terbatas, hehehe.

Kepingan Kaca Hitam

Siapapun yang pernah melihat hasil foto di Pura Lempuyang Luhur pasti akan setuju dengan saya bahwa hasilnya sungguh epic! Awalnya saya mengira foto mirror yang dihasilkan karena diambil di gerbang pura yang letaknya di samping sebuah kolam, sehingga bisa memantulkan bayangan layaknya cermin. Tapi ternyata, rahasianya ada pada sebuah kepingan kaca hitam! Bahkan ketika saya liat pun kepingannya ga rapi-rapi ahmad, eh rapi amat :p

Ketika saya tiba, saya bingung melihat gerbang pura yang tidak ada kolam di tepinya. Lalu Bli yang bertugas mengambil foto mempersilakan saya berdiri di gerbang pura dan meminta HP saya untuk digunakan berfoto. Saat itulah saya liat Ia menggunakan kepingan kaca hitam untuk menghasilkan pantulan di foto! Bagi saya itu benar-benar kreatif! Karena tentu saja saya tidak menyangka, kayaknya si orang lain juga (eh atau saya aja si yang baru tau 😦 Dan hasilnya, dengan latar belakang Gunung Agung yang gagah mempesona, benar-benar selayaknya Gerbang Menuju Surga!

Lokasi foto tanpa kolam di pinggirnya 😅

Tapi menurut saya, skill memotret si Bli juga patut diacungi jempol. Dia tidak ragu meminta saya berpose dan hasil fotonya juga cihuy abisss! Berhubung waktu itu masih sangat pagi, saya lumayan punya banyak waktu untuk berpoto sepuasnya dan si Bli juga ga keberatan atau doi hanya bersikap sopan ama mba-mba banci kamera ini 😦 Yang menyenangkan, jika kalian datang ke tempat ini, kalian akan merasakan keramahan khas Bali mulai dari pintu masuk hingga lokasi foto. Dan hasil kreatifitas para pemuda di Desa ini mampu menjadikan lokasi ini Desa Wisata yang cukup maju perkembangannya.

Rute dan Harga Tiket Pura Lempuyang

Berlokasi di Kabupaten Karangasem, Pura Lempuyang tepatnya berada di wilayah Bali bagian timur, cukup jauh dari pusat propinsi Bali yang biasanya wisatawan kunjungi. Itulah kenapa saya sarankan untuk cari penginapan di sekitar wilayah Karangasem biar paginya gak gedebag gedebug amat :p. Waktu itu saya sudah di lokasi jam 06.00 dan baru ada 2 orang pengunjung. Di tempat parkir, kita akan membayar tiket masuk seharga 50 ribu per orang dan membayar tiket mobil pengantar sampai lokasi pura yang masih jauh di atas seharga 50 ribu untuk antar jemput. Karena dari tempat parkir ke pura masih jauhhh dan nanjak pula jalannyaaa.

Sebelum memasuki komplek Pura, kita diharuskan menggunakan kain yang telah disediakan terlebih dahulu di pintu masuk. Sekitar 5 menit berjalan, saya tiba di lokasi Pura Lempuyang alias Gates of Heaven yang terkenal itu. Dan ketika tiba, sudah ada sekelompok anak muda yang sudah mulai pepotoan loh! Entah jam berapa mereka tiba disini.

Salam Lestari Gunung Agung 🙏

Dari lokasi pura terlihat jelas Gunung Agung yang perkasa karena langitnya sangat cerah pagi itu. Di sekitar pura Lempuyang berdiri pura-pura lain yang masih 1 komplek. Yang menarik, para pemuda yang mengelola tempat wisata tersebut sejak pagi sudah mulai bersih-bersih di sekitar pura sehingga membuat kawasan itu sangat asrii dan sejuukkk serta layak dikunjungi Gaesss!

Jadi, walaupun kamu udah tau rahasianya, tetep donk mau kesini?

Matur Suksme Bali!

Bertamu ke Gili Nanggu

Selain Gili Trawangan yang hits pada masanya, di Lombok ada Gili Nanggu yang siap jadi primadona dengan pantai pasir putih sehalus merica!

Siapa yang ga tau Gili Trawangan? Salahsatu gugusan pulau-pulau kecil yang masih masuk wilayah Lombok NTB ini sungguh sangat berjaya pada masanya. Dan tentu saja, tempat ini jadi pilihan wisatawan lokal dan mancanegara dengan berbagai fasilitas hotel, bungalow, sewa motor, water sport, night market, dll. Pokoknya udah tempat wisata banget deh.

Tapi bagi kaum-kaum penyuka tempat sepi kayak saya, ternyata di Lombok menyimpan banyak destinasi surgawi yang tersembunyi loh! Yahhh, gak tersembunyi banget sih. Mungkin saya aja yang baru tau belakangan dan kebetulan pas lagi dateng kesitu pas lagi sepi, hehe.

Gili Nanggu

Sebenernya gugusan pulau-pulau kecil yang populer disebut gili, gak cuma ada di Lombok. Di wilayah lain di Indonesia juga banyak. Bahkan di Lombok tersebar di beberapa lokasi, ada Gili Kondo dan Gili Kapal di Lombok Timur, dan Gili Nanggu di Lombok Barat. Gili Nanggu tepatnya berada di Pantai Sekotong. Kalo kamu naik motor atau mobil, ikutin google maps cari jalan raya sekotong. Nanti di sepanjang jalan raya sekotong banyak semacam pelabuhan-pelabuhan kecil yang menawarkan jasa penyeberangan ke Gili Nanggu dan gili-gili lain di sekitarnya.

Pantai Sekotong, titik awal penyeberangan ke Gili Nanggu

Saya sendiri kemarin ga melalui pelabuhan penyeberangan resmi, tapi berhenti di pinggir jalan yang ada warung, tapi juga menawarkan jasa penyeberangan ke Gili Nanggu. Setelah tawar menawar, jasa penyeberangan pulang pergi untuk sehari kira-kira dikenakan biaya 200 ribuan ke destinasi Gili Nanggu, Gili Kedis, dan Gili Sudak yang lokasinya berdekatan.

Waktu tempuh dari pantai Sekotong ke Gili Nanggu rasanya cukup singkat, ga sejauh ke Gili Trawangan dari pelabuhan. Dari jauh pandangan sudah terpaut akan paduan warna hijau air laut, biru langit dan putih bersih pasir pantai yang siap menyambut. Bener kan yang saya bilang, tempat ini sepiiii sekaliiiiiii, yihaaaaaaa *girang bangeetttt :p

Masih aman lah ombaknya, dibanding penyeberangan ke Pulau Lengkuas di Belitung 😢

Jangan bayangkan pulau ini seperti Gili Trawangan yang banyak hiburan dan tempat makan ya. Karena memang tidak seluas itu. Walaupun disini juga tersedia penginapan yang bisa dibooking langsung ke pengelola. Saya cari-cari di traveloka si ga ada lokasi penginapan di Gili Nanggu. Tapi tempat ini memang cocok banget buat kalian yang gak suka kebisingan. Atau yang hobi duduk termangu, disinilah tempatnya, di Gili Nanggu!

Gili Kedis

Mumpung disini, ga afdol kalo ga sekalian mampir ke gili-gili yang di sekitarnya. Salahsatunya Gili Kedis, pulau yang lebih kecil lagi dari Gili Nanggu. Kalo disini sih bener-bener ga bisa nginep ya, mau camping pun kayaknya agak-agak riskan karena bagian daratannya kecil banget!

Tapi seperti Gili Nanggu, pulau ini pasirnya putih dan halus sekali dan tentu saja juga sepi. Pastinya spot untuk snorkeling disini juga pas banget karena airnya masih sangat jernih. Cuma memang kemarin saya gak sempatkan untuk snorkeling.

Satu tempat yang ga saya datangi adalah Gili Sudak. Infonya disitu justru ada penginapan dan restoran. Jadi kamu bisa coba stay disini kalo emang kepingin nginep di pulau.

Selain pantai dan pulau, Lombok tuh kaya banget akan destinasi wisata epic lainnya. Ga sabar mau berbagi! Eits tapiii daripada nunggu diceritain, sekarang aja kamu pack ranselmu, and GO!👏👏👏

Bersemayam di Trunyan (Part 2)

Menembus kabut, membelah danau, merogoh kocek untuk menumpas rasa penasaran, dan sepadan

Desa Trunyan berlokasi di Kecamatan Kintamani, tepatnya di tepi Danau Batur. Terdapat 2 jalur menuju Desa Trunyan. 1 via darat dengan jalan memutar, 1 lagi dengan menyeberangi Danau Batur naik perahu. Saya pilih opsi kedua, karena dari beberapa rekomendasi umumnya untuk ke Desa Trunyan memang dengan menyeberang. Lagipula, kayaknya seru gitu membelah Danau Batur yang sangat indah dengan arus yang tenang dan agak berkabut karena cuaca di sekitar danau sangat sejuk bahkan cenderung dingin. Mungkin karena posisi Danau Batur yang terletak disekitar Gunung Batur yang masih aktif.

Perjalanan dimulai dengan menyewa perahu dari Dermaga Kedisan bertarif 900 ribu rupiah untuk pulang-pergi ke Desa Trunyan. Yakkk, 900 ribu! lumayan banget heu heuu. Sebaiknya memang bisa patungan dengan beberapa wisatawan lain agar biaya sewa perahunya bisa dishare. Harga ini sudah termasuk dengan tour guide yang akan memandu kamu ke Desa Trunyan terlebih dahulu dan setelah itu mengantar ke makamnya. Perjalanan menyeberangi Danau sekitar 30 menit dengan perairan yang tenang (beda banget kalo nyebrang di laut yaaakk :().

Pertama-tama, tour guide mengantar saya ke Desa Trunyan, dimana tinggal para penduduk asli Desa Trunyan. Saat saya melintas untuk melihat-lihat, terdapat Sekolah Dasar disini. Sedangkan untuk tingkatan lainnya mungkin harus bersekolah di desa tetangga.

Menyeberangi Danau Batur

Di Desa saya harus mengisi daftar tamu dan memberi biaya masuk seikhlasnya yang saya kira sudah termasuk dengan paket sewa perahu tadi.

Kemudian setelah berkeliling di Desa, baru kami menuju Terunyan Cemetery yang ternyata harus dijangkau dengan naik perahu karena letaknya bukan di Desa tetapi tersendiri. Sekitar 5 menit, kami sudah tiba di lokasi. Ada semacam dermaga kecil di pintu masuk makam untuk menambatkan perahu. Nah, kisah pengalaman saya di Makam Trunyan ini boleh dibaca di Part 1 nya yaaaaaaa https://wordpress.com/post/pelanglangbuana.id/29

Penampakan dari luar memang makam ini terlihat mistis banget yak, pas udah di dalemnya juga si, hehe. Tapi tour guide saya bener-bener memperhatikan tamu-nya sehingga perasaan was-was bisa diatasi. Yang paling penting memang kita tetap menjaga kesopanan dimana pun kita berada, apalagi ditempat sakral dan penuh tradisi seperti ini. Seperti sebuah pepatah lama,

Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung

Sooo, buat kamu yang suka ke Bali, bolela cari alternatif wisata selain pantai, pantai, dan pantai. Mempelajari tradisi di Desa Trunyan dan sekitar Kintamani bisa jadi opsi. Atau sekadar berlibur di tepi Danau Batur, pemandangannya menawan, dan sepadan.

Bersemayam di Trunyan (Part 1)

Jika diijinkan membawa satu benda kesayangan ke alam baka, apa pilihanmu?

Namanya saja “jika”, artinya kita boleh berandai-andai. Karena di agama saya memang tidak diperkenankan membawa benda apapun ke dalam kubur. Tapi bagi penduduk Desa Trunyan atau di beberapa agama lain hal ini sudah lumrah. Nah, selain benda-benda kesayangan yang dibawa ke ke peristirahatan terakhir penduduk Trunyan, hal menarik lainnya dari Desa Trunyan adalah cara pemakaman penduduknya yang tidak biasa kalo tidak bisa dibilang seram unik.

Desa Trunyan merupakan salahsatu desa tertua di Bali berlokasi di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Propinsi Bali. Desa Trunyan dikenal dengan wisata mistisnya karena di Desa ini terdapat 1 tempat khusus untuk pemakaman penduduk asli Trunyan dengan cara “diletakkan” dibawah Pohon Trunyan. Walaupun masih ditutupi semacam bambu, tetapi jenazah hanya ditutupi kain (tidak dikubur) dan akan dibiarkan hingga tersisa tengkorak dan tulang-belulangnya saja. Dan ajaibnya, tidak tercium bau apapun walau ada mayat bergelimpangan (secara harfiah ya ini :(), bahkan cenderung wangi. Hmmm, beneran mistis ya vibesnya :p

Ngeri tapi penasaran, saya memutuskan untuk mengunjungi Trunyan beberapa waktu lalu. Layaknya kodrat manusia banget ga si ini, udah tau ada sesuatu yang belum jelas atau sekiranya membahayakan, malah disamperin sekalian 😦 Contoh lainnya, udah tau takut hantu, tapi pingin nonton film horror ngajakin orang sekampung. Atau dulu ada bom di ibukota, netizen malah kepo pingin liat sambil makan kacang rebus yang abangnya siaga deket TKP. Heu heuu seru yak.

Pohon Trunyan

Kembali ke Trunyan, jadi setelah sampai disana, saya mendapat penjelasan dari tour guide setempat mengenai Desa Trunyan dan tradisi atau adat istiadat mereka yang sangat unik ini. Adapun tidak terciumnya bau mayat atau jenazah di pemakaman ini karena adanya sebuah pohon yang sangat besar di pemakaman tersebut yang disebut Taru Menyan, Taru = Pohon, Menyan = Harum. Yak, pohonnya cuma 1 dengan batang yang sangat besar dan daun yang sangat rimbun. Dipercaya, akar dari pohon ini yang membuat mayat tidak berbau.

Jika dilihat, luas pemakaman Trunyan tidak terlalu besar seperti pada umumnya. Tetapi entah mengapa, ribuan jenazah yang sudah “diletakkan” disana tidak membuat makam tersebut menjadi penuh. Tour Guide menyampaikan, tidak semua penduduk Trunyan yang dapat dimakamkan disana, hanya penduduk yang meninggal dengan cara wajar. Sedangkan untuk warga yang meninggal karena kecelakaan atau bunuh diri ada tempat tersendiri. Terakhir, ketika saya datang ada sekitar 9-11 jenazah yang belum lama “diletakkan” dalam 1 “batch”. Beberapa diantaranya masih menampakkan kulit yang cukup segar membuat saya takut untuk mengintip, tapi tetap saya lakukan. Dasar Manusiaaaaaaaa 😦

Benda Kesayangan

Ada hal yang mengganggu saya ketika sampai dimakam. Yaitu banyaknya benda-benda yang berserakan di tanah. Hingga saking gatalnya mulut ini lancang bertanya kepada Tour Guide, “Bli, kenapa ya di makam ini banyak sampah?” Ketika akhirnya dijawab, seketika itu juga saya menyesal sudah bertanya. Astagaaa mulut ini bisa gak sii jangan banyak cinconggg 😦 😦 Jadi, benda-benda berserakan yang saya kira sampah ternyata adalah benda-benda kesayangan dari jenanzah-jenazah yang dimakamkan disana 😦

Tapi, kalo mau membela diri, rasanya wajar jika saya mengira begitu. Karena yang saya lihat diantara benda-benda itu mulai dari botol handbody, sisir, sampo, piring, dan berbagai benda keseharian lainnya. Yang tidak salah juga jika itu dikategorikan benda kesayangan semasa jenazah hidup. Karena kita semua pasti punya benda kesayangan masing-masing kan?

Namun setelahnya, tak henti-henti saya meminta maaf pada Tour Guide saya dan juga dalam hati sambil komat kamit berkali-kali :(. Dalam hati saya berjanji lain kali lebih berhati-hati apalagi saat mengunjungi tempat-tempat sakral seperti ini. Nahh, walau begitu, hal ini kembali membawa saya pada pertanyaan saya di awal, Jika diijinkan membawa satu benda kesayangan ke alam baka, apa pilihanmu? Hmmm, rasanya saya akan membawa handphone saya saja. Bukankah di jaman sekarang, di dunia fana saja lebih baik tidak bawa dompet daripada tidak bawa handphone ? Kalo kamu? Jangan bilang poster BTS :(, walau gapapa juga si, siapa tau bisa bantuin bayar tagihan yang masih tertinggal, di Tokopedia :p

Well, setelah keunikannya, saya akan membahas akses menuju Desa Trunyan di Part 2 !