7 Hari 6 Malam di Belitung-Bangka Ngapain Aja?

Ngopi, makan, mantai. Repeat 👌

Dulu saya mengira Propinsi Bangka dan Belitung adalah 1 propinsi, ternyata tidak Bunds, ada laut yang harus diseberangi diantaranya. Jadi ketika memutuskan main ke Belitung untuk pertama kalinya saya sekalian lanjut ke Bangka. Ibaratnya sekali dayung, 2, 3 pulau terlampaui. Pada kenyataannya, memang ada 3 pulau yang saya sambangi, Pulau Belitung, Pulau Lengkuas, dan Pulau Bangka.

Ikon Pulau Belitung, mercusuar di Pulau Lengkuas

Belitung menjadi tujuan pertama saya. Bersama partner traveling saya, kami memutuskan sewa motor di Belitung. Tentu saja bukan saya yang nyetir donksss! Di Belitung saya dapet harga sekitar 75-80 ribu per hari untuk sewa motor bebek dan dianter langsung ke Bandara (harga sekarang mungkin udah gak segitu ya). Sempet deg-deg an karena kami berdua gak ada yang punya SIM, ternyata boleh hanya ninggalin KTP aja. Tapi jadi perkara ketika di tengah perjalanan ada razia, kami harus berhenti sejauh mungkin dan nunggu ampe polisinya kelarrr meriksaaa. Rempongggg sodara-sodaraaa 🤪 Mohon jangan ditiru yaks 😦

Honda Beat yang setia menemani perjalanan 4 hari di Belitung ✌️

Apa si yang dicari dari 2 pulau ini? Kalo dari yang saya dengar selama ini, pantai-pantai disini masih cantik dan bersih, tapi ternyata setelah sampai tidak sekadar pantai yang menarik hati saya tapi juga kelezatan kuliner dan tentu saja kopi dan tempat ngopinya, sempurna! Nah, berikut ini beberapa list tempat yang saya kunjungi selama di Belitung dan Bangka siapa tau bisa jadi referensi, cuss!

Hari 1

  • Museum Kata Andrea Hirata : Tempat pertama yang kami tuju setiba di Belitung adalah Museum Kata Andrea Hirata yang berlokasi di Belitung Timur. Bukan rahasia jika Belitung dikenal sebagai Negeri Laskar Pelangi menyusul kesuksesan Novel karya Andrea Hirata yang belakangan juga difilmkan (walaupun saya ga baca dan ga nonton filmnya hehe). Untuk masuk museum ini saya hanya perlu membeli 1 novel Andrea Hirata seharga 50 ribu. Berbagai macam quotes dari sang penulis dan juga potongan kisah serta dokumentasi film Laskar Pelangi memenuhi tempat ini. Yang pasti tempat ini sangat full colour, cantik dan penuh inspirasi.
  • Warkop ATET Manggar-Beltim : Salahsatu warkop tertua di Belitung Timur, berdiri sejak 1949. Bangunannya sederhana, yang belakangan saya sadari jika tempat-tempat ngopi di sini walau tempatnya biasa saja tapi rasa kopinya luar biasa. Jangan lupa pesan kopi susu Manggar dan bawa satu kopi bubuk untuk dibawa pulang!
  • Pantai Tanjung Pendam : Pantai ini sudah masuk wilayah Tanjung Pandan bahkan lokasinya gak jauh dari pusat keramaian propinsi Belitung. Sunset disini juga cukup jelas jika cuaca gak mendung. Boleh disambangi sambil menikmati senja hari jika kamu baru saja tiba disini. Kebetulan hotel yang saya pilih lokasinya tepat di tepi pantai ini. Namanya Hotel Harlika, yang saya dapat dengan harga sangat murah sekitar 150 ribu per malam tapi tentu fasilitas sangat terbatas dan bangunan yang cukup tua. Tapi disekitar banyak hotel lain dengan fasilitas yang lebih lengkap kok, cuma gak masuk budget aja, wkwkwk.
  • Mie Belitung Atep : Salahsatu kuliner wajib jika kamu ke sana nih. Tempat ini menjual mie rebus tradisional asli Belitung sejak 1973. Letaknya di pusat kota. Kuahnya kental dan gurih, mie nya juga lembut. Jangan lupa pesen es jeruk kunci sebagai pasangannya. Duh, Juara! Jadi inget dan kepingin daahhhh 😔

Hari 2

  • Waroeng Kopi Ake : Bangun tidur di hari kedua kami di Belitung yang kami cari pertama kali adalah, warung kopi! Dari hotel berjalan kaki sekitar 1 km, kami menemukan tempat ini yang lokasinya dekat dengan Mie Belitung Atep. Sepertinya tempat-tempat menyenangkan ini memang lokasinya di pusat kota sehingga mudah ditemukan. Pertama kali melihat tempat ini saya terpesona. Betapa nyaman rasanya pagi-pagi nongkrong di warung kopi macam ini. Seperti biasa, saya pesan kopi susu dan semacam nasi uduk (lupa namanya) untuk sarapan. Selain kopinya yang lezat, tentu saja yang menyenangkan adalah suasananya dimana tiap orang menyempatkan datang sarapan dengan keluarga dan saling menyapa.
  • Danau Kaolin Belitung : Awalnya saya mengira ini benar-benar sebuah danau dengan air berwarna biru. Siapa sangka ini adalah lokasi bekas tambang timah yang dibiarkan begitu saja 😦 Di tempat ini tidak ada pintu loket, jadi jika mau melihat dan sekadar berfoto bisa dari samping-sampingnya asal tidak melewati pagar pembatas.
  • Rumah Makan Belitong Timpo Duluk : Sesuai dengan namanya, memang pas masuk kesini suasana yang terasa seperti tempo dulu. Kalo mampir jangan lupa pesan Dulang Set yang merupakan budaya makan bersama yang disajikan di dalam wadah bernama “Dulang” untuk mempererat tali silaturahmi antar kerabat, keluarga, maupun tamu kehormatan yang disajikan sesuai adat istiadat masyarakat Belitung. Set menu terdiri dari berbagai makanan khas Belitung yaitu Gangan ikan/ Gangan darat, Ayam Ketumbar, Sate ikan, Oseng-oseng, lalapan dan sambal serai dengan harga 135 ribu untuk paket 2 orang.
  • Kong Djie Coffee : Pagi udah ngopi, abis makan siang ngopi lagi? Why notttt 😅 Baru dihari kedua kami sempat mendatangi salahsatu ikon dari Belitung, kopi Kong Djie yang telah berdiri sejak 1943. Menurut saya kopinya tidak beda dari warung kopi lainnya di daerah ini. Sama-sama enak. Di Depok pernah ada yang mendirikan warung Kopi Kong Djie, tapi saya sekali datang saja dan tidak pernah kesana lagi. Menurut saya memang rasanya jauh berbeda. Dengan kesederhanaan tempat dan juga cara penyajian serta cara memasak kopi dengan tungku yang membuat rasa kopi di sini lebih mantul gitu istilahnya! Gak boleh terlewat ya yang satu ini!
  • Pantai Tanjung Tinggi : Beranjak sore kami bergerak menuju Utara, menuju kawasan Pantai Tanjung Tinggi yang berjarak sekitar 40 menit dari Tanjung Pandan. Di sekitar area Pantai Tanjung Tinggi sudah banyak hotel mevvah dibangun dengan akses pantai pribadi. Apa saya nginep di salahsatunya? Tentu tidaks donkkk 😦 Bahkan kami ga masuk ke pantai dengan akses berbayar. Sepanjang jalan raya adalah tepi pantai yang masih 1 gugusan dan kami berhenti di pinggir untuk kemudian menikmati pantainya. Pasirnya putih bersih dan pantainya juga masih bersihhh.
  • Bukit Berahu Resto : Menjelang sore kami memutuskan ingin menikmati senja di Bukit Berahu Resto yang merupakan Resto untuk umum juga hotel. Beruntungnya kami menyempatkan diri kesini karena pisang gorengnya sungguh enak sekali! Bukit Berahu juga punya akses langsung ke pantai ke arah bawah dan bisa menjadi spot untuk menikmati sunset. Kami gak nginep sini karena tidaks masuk budget. Saya justru memilih Sakinah Homestay yang saya dapat dari Air BnB dan berlokasi tidak jauh dari Bukit Berahu.

Satu hal, waktu itu jalanan yang kami lewati masih cukup sepi. Saya ingat beberapa kali harus isi bensin di rumah-rumah pinggir jalan yang jualan bensin. Jadi sering-sering cek indikator bensin ya, ngeri keabisan dan jauh dari keramaian 😦

Hari 3

  • Pantai Tanjung Kelayang : Pantai ini adalah titik keberangkatan menuju Pulau Lengkuas. Sehari sebelumnya saya udah sempat mampir ke pantai ini untuk cari tau terkait penyeberangan ke Pulau Lengkuas. Kami berhasil mendapatkan nelayan yang mau mengantarkan kami PP ke Pulau Lengkuas dengan biaya sewa perahu 600 ribu! Heu heu, ya kalo pergi berdua emang gitu resikonya, biaya patungannya jadi mahal per orang karena sebenarnya kapalnya cukup besar untuk menampung beberapa orang. Tapi karena sudah disini, masa iya ga jalan, ya kan, ya kan ?
  • Pulau Lengkuas : Siapa yang ga tau tempat ini dengan mercusuarnya yang ikonik? Menempuh perjalanan yang cukup lamaaaaa bagi saya dicampur dengan drama mabok laut pake muntah segala, rasanya begitu lega ketika bisa tiba di Pulau ini. Tapi memang rasa terombang ambing di atas kapalnya sangat terasa, apa karena muatannya hanya ber-3? 😭 Dominasi batu-batu besar layaknya yang sering saya liat dari postingan jalan-jalan ke Belitung mulai saya liat di tempat ini. Mercusuar berdiri tegak dengan tampilan luar yang cukup baik walaupun mercusuar ini telah didirikan sejak 1882 oleh pemerintah kolonial Belanda. Kami juga menyempatkan diri menyusuri semacam hutan kecil untuk menemukan lagoon-lagoon yang tersembunyi.
Sungguh penyeberangan yang memabukkan! 😭
  • Pulau Kelayang : Pulau ini memang dikhususkan bagi pengunjung yang mau makan siang. Tapi paketnya tidak termasuk biaya sewa perahu di awal ya. Jadi kamu harus merogoh kocek lagi untuk makan siang ditempat ini. Menunya tentu saja ikan-ikanan atau komoditas seafood lainnya dengan harga yang menurut saya, lumayannn mahall 😦 Sebelum menuju pulau ini dari Pulau Lengkuas, nelayan yang mengantar kami membawa kami ke beberapa spot untuk snorkeling dan membebaskan kami untuk snorkeling sepuasnya. Memang benar, keindahan bawah lautnya masih mudah dinikmati karena lautnya masih jernih. Kalian juga ga boleh melewatkan yang 1 ini yaa!
  • Desa Nelayan Tanjung Binga : Ketika kami kembali ke pantai hari belum terlalu sore. Jadi saya mencari spot lain untuk menikmati senja. Kami menemukan sebuah dermaga beton di Desa Nelayan Tanjung Binga dimana kami bisa duduk berdiam sambil menunggu datangnya senja walau tidak begitu sempurna karena cuacanya yang mendung.

Well, setelah menyunset, kami kembali ke daerah Tanjung Pandan. Hotel terakhir tempat kami menginap adalah sebuah kos-kosan bernama Penginapan Kost Belitung Melambai dengan harga 88 ribu/ malam, irit atau pelit sih? wkwkwkw. Esoknya kami bersiap untuk menuju Pulau Bangka dengan Kapal Cepat Express Bahari.

Ada apa aja si di Bangka? Tunggu menu-menu selanjutnya yaaa 👏

Main Sebentar ke Neuschwanstein Castle

Akhirnya upik abu ini bisa pura-pura jadi seorang puteri walaupun cuma sehari dan membuktikan bahwa penampakan kastil macam di dongeng itu memang ada

Neuschwanstein Castle dilihat dari Marienbrücke

Dongeng mengenai kisah seorang puteri, pangeran dengan bangunan kastil indah yang menjulang selalu menarik untuk didengar, dibaca ataupun ditonton secara visual. Jika sedari kecil saya hanya bisa melihatnya di buku cerita maupun di film-film bioskop, beberapa tahun lalu saya berkesempatan mengunjungi sebuah kastil yang menurut saya mirip dengan bangunan di kisah-kisah dongeng seorang puteri.

Mengunjungi bangunan-bangunan tua dengan arsitektur yang indah memang sangat menarik. Seperti bangunan-bangunan di Kota Tua Jakarta, Kota Lama Semarang, maupun Lawang Sewu. Tapi kastil? Benar-benar kastilll? Bermimpi pun saya tidak pernah untuk bisa mengunjungi sebuah kastil. Alhamdulillah kesempatan itu datang walau masih ada kaitannya dengan kerjaan beberapa tahun lalu.

Kastil yang Menginspirasi Disney

Neuschwanstein Castle adalah sebuah kastil dengan arsitektur khas Bavaria pada abad 19. Kastil ini terletak di puncak pegunungan, di dekat Hohenschwangau dan Fussen, Bayern Jerman. Neuschwanstein dibangun atas perintah Raja Ludwig II dari Bavaria (sumber : https://www.merdeka.com/gaya/neuschwanstein-kastil-kuno-yang-jadi-inspirasi-sleeping-beauty.html).

Untuk menuju kastil ini, kami menggunakan Bus dari Munich dan melewati Desa Schwangau yang sepanjang perjalanannya mengingatkan saya akan gambar-gambar pemandangan indah yang biasanya hanya bisa saya kepoin dari Instagram (ketauan ngepoinnya IG jalan-jalan mulu woii). Hamparan rumput hijau yang luas, rumah-rumah bergaya khas eropa, dan pegunungan Alpen di kejauhan, Masya Allah.

Walaupun belum beruntung bisa menemukan salju, tapi saat itu sudah masuk musim dingin dan cuacanya dingiiinnnn sekali. Sebelum memasuki kastil, kami berkesempatan melihat bangunan kastil yang menginspirasi Disney ini dari sebuah jembatan, kalo ga salah lokasinya disebut Marienbrücke.

Melalui antrian yang cukup panjang, kastil yang dibuka untuk umum ini seingat saya tidak mengijinkan pengunjung memotret bagian dalam kastil. Samar-samar dalam ingatan saya mengikuti tour yang dipandu oleh guide, walaupun sebagian atau hampir seluruh penjelasannya saya gak mudeng karena pake basa enggressss 😦

Tidak jauh dari Neuschwanstein Castle terdapat kastil lain yaitu Hohenschwangau Castle yang hanya bisa saya lihat dari jauh. Jika kamu berkesempatan kesana mungkin bisa sekalian dikunjungi. Bagi kalian yang gak bisa pergi tanpa membawa oleh-oleh, di bagian parkiran bus banyak terdapat toko-toko cindera mata selayaknya kawasan wisata. Walaupun mentok yang bisa saya beli cuma tempelan kulkas, itupun udah itung-itungan konversi euro ke rupiah kira-kira masih cukup gak sisanya, wkwkwkkw.

Hohenschwangau Castle

Sayangnya. saya gak bisa jelasin rute menggunakan kendaraan umum/ angkot kalo mau kesana, ataupun informasi rental mobilnya serta harga tiket masuk ke kastil. Karena waktu itu sudah jadi bagian paket tour kami dari perusahaan yang membawa kami ke Jerman. Tapi mungkin bisa cek langsung di website https://www.neuschwanstein.de/englisch/tourist/howtoget.htm#weg

Salahsatu restoran yang dapat didatangi sebelum menuju kastil

Walaupun tempat ini tidak termasuk dalam kategori “One Place to Visit Before You Die” nya Saya, tapi jika sedang berkesempatan ke Munich, bolela sekalian mampir-mampir main sebentar. Kiranya kita semua diberi kesempatan untuk menjelajahi keindahan yang sudah Tuhan ciptakan, dimanapun tempatnya.

Danke !

Rahasia di Balik Foto Epic di Gates of Heaven

Hanya bermodalkan kepingan kaca hitam! Sebuah kreatifitas sederhana, memberi hasil yang sempurna 👌

Pura Lempuyang, salahsatu wishlist saya tiap ke Bali sejak lama. Sempat bertanya pada supir grab saat saya di Bali, ternyata lokasinya sangat jauh dari lokasi saya stay saat itu. Karena untuk ke tempat ini memang dibutuhkan perencanaan yang matang. Bukan saja karena lokasinya tapi juga untuk bisa mendapatkan apa yang saya (dan kaum pecinta konten lainnya) inginkan yaitu sebuah foto epic di gerbang Pura Lempuyang, sangat penuh perjuangan.

Gates of Heaven

Berdasarkan informasi yang saya dapatkan, waktu terbaik untuk berkunjung ke Pura adalah saat pagi hari. Eh, pagiiiiii banget dink :p Jika beruntung kamu bisa mendapatkan pemandangan Gunung Agung yang super clear, juga kamu punya banyak kesempatan dapat foto yang bagus karena kemungkinannya belum ramai 😦

Yaakkss! Keramaian adalah salahsatu tantangan untuk bisa dapet foto bagus di tempat ini. Kalo kamu kesiangan antrian bakalan puanjaanggggg dan waktu untuk ambil foto relatif lebih singkat karena harus gantian dengan wisatawan lain. Coba bayangkan perasaan Mbak-mbak yang biasanya harus foto sampe ratusan cekrek tapi yang diupload cuma 1, kezel kann kalo waktunya terbatas, hehehe.

Kepingan Kaca Hitam

Siapapun yang pernah melihat hasil foto di Pura Lempuyang Luhur pasti akan setuju dengan saya bahwa hasilnya sungguh epic! Awalnya saya mengira foto mirror yang dihasilkan karena diambil di gerbang pura yang letaknya di samping sebuah kolam, sehingga bisa memantulkan bayangan layaknya cermin. Tapi ternyata, rahasianya ada pada sebuah kepingan kaca hitam! Bahkan ketika saya liat pun kepingannya ga rapi-rapi ahmad, eh rapi amat :p

Ketika saya tiba, saya bingung melihat gerbang pura yang tidak ada kolam di tepinya. Lalu Bli yang bertugas mengambil foto mempersilakan saya berdiri di gerbang pura dan meminta HP saya untuk digunakan berfoto. Saat itulah saya liat Ia menggunakan kepingan kaca hitam untuk menghasilkan pantulan di foto! Bagi saya itu benar-benar kreatif! Karena tentu saja saya tidak menyangka, kayaknya si orang lain juga (eh atau saya aja si yang baru tau 😦 Dan hasilnya, dengan latar belakang Gunung Agung yang gagah mempesona, benar-benar selayaknya Gerbang Menuju Surga!

Lokasi foto tanpa kolam di pinggirnya 😅

Tapi menurut saya, skill memotret si Bli juga patut diacungi jempol. Dia tidak ragu meminta saya berpose dan hasil fotonya juga cihuy abisss! Berhubung waktu itu masih sangat pagi, saya lumayan punya banyak waktu untuk berpoto sepuasnya dan si Bli juga ga keberatan atau doi hanya bersikap sopan ama mba-mba banci kamera ini 😦 Yang menyenangkan, jika kalian datang ke tempat ini, kalian akan merasakan keramahan khas Bali mulai dari pintu masuk hingga lokasi foto. Dan hasil kreatifitas para pemuda di Desa ini mampu menjadikan lokasi ini Desa Wisata yang cukup maju perkembangannya.

Rute dan Harga Tiket Pura Lempuyang

Berlokasi di Kabupaten Karangasem, Pura Lempuyang tepatnya berada di wilayah Bali bagian timur, cukup jauh dari pusat propinsi Bali yang biasanya wisatawan kunjungi. Itulah kenapa saya sarankan untuk cari penginapan di sekitar wilayah Karangasem biar paginya gak gedebag gedebug amat :p. Waktu itu saya sudah di lokasi jam 06.00 dan baru ada 2 orang pengunjung. Di tempat parkir, kita akan membayar tiket masuk seharga 50 ribu per orang dan membayar tiket mobil pengantar sampai lokasi pura yang masih jauh di atas seharga 50 ribu untuk antar jemput. Karena dari tempat parkir ke pura masih jauhhh dan nanjak pula jalannyaaa.

Sebelum memasuki komplek Pura, kita diharuskan menggunakan kain yang telah disediakan terlebih dahulu di pintu masuk. Sekitar 5 menit berjalan, saya tiba di lokasi Pura Lempuyang alias Gates of Heaven yang terkenal itu. Dan ketika tiba, sudah ada sekelompok anak muda yang sudah mulai pepotoan loh! Entah jam berapa mereka tiba disini.

Salam Lestari Gunung Agung 🙏

Dari lokasi pura terlihat jelas Gunung Agung yang perkasa karena langitnya sangat cerah pagi itu. Di sekitar pura Lempuyang berdiri pura-pura lain yang masih 1 komplek. Yang menarik, para pemuda yang mengelola tempat wisata tersebut sejak pagi sudah mulai bersih-bersih di sekitar pura sehingga membuat kawasan itu sangat asrii dan sejuukkk serta layak dikunjungi Gaesss!

Jadi, walaupun kamu udah tau rahasianya, tetep donk mau kesini?

Matur Suksme Bali!

Bertamu ke Gili Nanggu

Selain Gili Trawangan yang hits pada masanya, di Lombok ada Gili Nanggu yang siap jadi primadona dengan pantai pasir putih sehalus merica!

Siapa yang ga tau Gili Trawangan? Salahsatu gugusan pulau-pulau kecil yang masih masuk wilayah Lombok NTB ini sungguh sangat berjaya pada masanya. Dan tentu saja, tempat ini jadi pilihan wisatawan lokal dan mancanegara dengan berbagai fasilitas hotel, bungalow, sewa motor, water sport, night market, dll. Pokoknya udah tempat wisata banget deh.

Tapi bagi kaum-kaum penyuka tempat sepi kayak saya, ternyata di Lombok menyimpan banyak destinasi surgawi yang tersembunyi loh! Yahhh, gak tersembunyi banget sih. Mungkin saya aja yang baru tau belakangan dan kebetulan pas lagi dateng kesitu pas lagi sepi, hehe.

Gili Nanggu

Sebenernya gugusan pulau-pulau kecil yang populer disebut gili, gak cuma ada di Lombok. Di wilayah lain di Indonesia juga banyak. Bahkan di Lombok tersebar di beberapa lokasi, ada Gili Kondo dan Gili Kapal di Lombok Timur, dan Gili Nanggu di Lombok Barat. Gili Nanggu tepatnya berada di Pantai Sekotong. Kalo kamu naik motor atau mobil, ikutin google maps cari jalan raya sekotong. Nanti di sepanjang jalan raya sekotong banyak semacam pelabuhan-pelabuhan kecil yang menawarkan jasa penyeberangan ke Gili Nanggu dan gili-gili lain di sekitarnya.

Pantai Sekotong, titik awal penyeberangan ke Gili Nanggu

Saya sendiri kemarin ga melalui pelabuhan penyeberangan resmi, tapi berhenti di pinggir jalan yang ada warung, tapi juga menawarkan jasa penyeberangan ke Gili Nanggu. Setelah tawar menawar, jasa penyeberangan pulang pergi untuk sehari kira-kira dikenakan biaya 200 ribuan ke destinasi Gili Nanggu, Gili Kedis, dan Gili Sudak yang lokasinya berdekatan.

Waktu tempuh dari pantai Sekotong ke Gili Nanggu rasanya cukup singkat, ga sejauh ke Gili Trawangan dari pelabuhan. Dari jauh pandangan sudah terpaut akan paduan warna hijau air laut, biru langit dan putih bersih pasir pantai yang siap menyambut. Bener kan yang saya bilang, tempat ini sepiiii sekaliiiiiii, yihaaaaaaa *girang bangeetttt :p

Masih aman lah ombaknya, dibanding penyeberangan ke Pulau Lengkuas di Belitung 😢

Jangan bayangkan pulau ini seperti Gili Trawangan yang banyak hiburan dan tempat makan ya. Karena memang tidak seluas itu. Walaupun disini juga tersedia penginapan yang bisa dibooking langsung ke pengelola. Saya cari-cari di traveloka si ga ada lokasi penginapan di Gili Nanggu. Tapi tempat ini memang cocok banget buat kalian yang gak suka kebisingan. Atau yang hobi duduk termangu, disinilah tempatnya, di Gili Nanggu!

Gili Kedis

Mumpung disini, ga afdol kalo ga sekalian mampir ke gili-gili yang di sekitarnya. Salahsatunya Gili Kedis, pulau yang lebih kecil lagi dari Gili Nanggu. Kalo disini sih bener-bener ga bisa nginep ya, mau camping pun kayaknya agak-agak riskan karena bagian daratannya kecil banget!

Tapi seperti Gili Nanggu, pulau ini pasirnya putih dan halus sekali dan tentu saja juga sepi. Pastinya spot untuk snorkeling disini juga pas banget karena airnya masih sangat jernih. Cuma memang kemarin saya gak sempatkan untuk snorkeling.

Satu tempat yang ga saya datangi adalah Gili Sudak. Infonya disitu justru ada penginapan dan restoran. Jadi kamu bisa coba stay disini kalo emang kepingin nginep di pulau.

Selain pantai dan pulau, Lombok tuh kaya banget akan destinasi wisata epic lainnya. Ga sabar mau berbagi! Eits tapiii daripada nunggu diceritain, sekarang aja kamu pack ranselmu, and GO!👏👏👏

Curug Leuwi Hejo, Semacam Surga di Pinggir Ibukota

Airnya sejernih kasih sayang orang tua dan sedingin lidah mertua

Tempat ini sudah lama saya dengar, dan gambarnya pun sudah sering berseliweran di media sosial. Namun baru beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi langsung tempat yang belakangan memang sedang hype ini.

Lokasi utama, Curug Leuwihejo

Curug Leuwi Hejo, berlokasi di Kecamatan Babakan Madang, Bogor. Banyak yang bertanya pada saya, apakah ini di Sentul atau dekat-dekat area situ? Dan menurut saya memang arahnya lewat daerah Sentul Bogor. Kenapa tempat ini belakangan jadi primadona? Mungkin karena lokasinya yang tidak jauh dari ibukota, atau di pinggiran Jakarta. Tentu saja banyak Curug yang air terjunnya luar biasa cantik seperti Curug Cikaso, Curug Cimarinjung, tapi lokasinya tidak sedekat ini. Bagi warga Jakarta, bisa mendatangi tempat wisata semacam Leuwi Hejo hanya dengan waktu tempuh 1-2 jam rasanya bagai menemukan oase di tengah padang pasir (kayak pernah ke padang pasir aja :p ).

Waktu Tempuh, Akses dan Tiket Masuk

Perjalanan saya dimulai pukul 5.15 pagi dari daerah Cilebut. Saya bersama teman-teman menggunakan motor (tentu saja saya dibonceng) dan menempuh perjalanan kurang lebih 1 jam hingga tempat tujuan tanpa kebut-kebutan. Lokasi Curug mudah ditemukan, peta di google maps sangat jelas menentukan arah yang harus kita ambil.

Lokasi Curug mudah ditemukan

Tiba di lokasi, disambut dengan loket khas tempat wisata. Sayangnya, petugas resminya belum ada atau apakah memang ada petugas resminya saya kurang tahu. Jadi, saya harus membayar 30 ribu/ orang untuk masuk, dan 10 ribu/ motor yang entah fungsinya sebagai biaya parkir atau biaya masuk motor saja, karena belakangan saat mau pulang ada yang meminta ongkos parkir lagi seikhlasnya 😦 Dan semuanya tanpa tiket/ karcis ! Buat saya, tiket/karcis masuk itu cukup penting sebagai jaminan baik itu bukti penitipan kendaraan atau hal lainnya (Sapa tau bisa direimburst, ama siapa gitu, kan?). Tapi mungkin yang datangnya lebih siang dapat tiket masuk, semoga saja.

View sebelum menuju Curug
Tidak hanya Curug Leuwi Hejo, tapi ada kumpulan curug lainnya yang bisa dikunjungi

Bagi pengunjung yang datangnya pagi sekali seperti saya, disarankan untuk menyempatkan sarapan terlebih dahulu, karena walau banyak warung tetapi belum ada yang buka saat saya tiba. Selain itu, dari tempat parkir menuju Curug, masih cukup jauh, sekitar 30-45 menit jalan santai. Treknya terus menanjak dengan jalan tanah dan juga batu serta banyak tangga yang harus di daki. Jalanannya mengingatkan saya akan rute menuju Ranu Kumbolo tapi yang masih bagian landainya wkwkwk.

Setelah meniti naik tangga, untuk menuju airnya, menuruni tangga 😦

Ternyata walau terkenal dengan nama Leuwi Hejo, wilayah ini merupakan kumpulan curug yang berbeda sesuai dengan lokasi ketinggiannya. Saya sendiri tidak menuju Leuwi Hejo, tapi masih naik lagi ke atas. kalo gak salah ke Lieuk Ceupet. Tentu saja tujuannya nyari spot yang se-sepi mungkin donkkk! Mana enak berendem-rendem cantik kalo di sekitar kita banyak orang ye kan, yang ada airnya gak dingin lagi, tapi hangat-hangat entah apa itu hehehe.

Jernih dan Dingin

Saya sudah sering liat penampakan foto curug ini di media sosial, yang menurut saya kok seperti gak mungkin ya masih ada tempat sejernih itu gak jauh dari Jakarta. Tetapi begitu saya tiba dan melihat sendiri, Masya Allah! memang sejernih itu airnya! Pantas saja tempat ini banyak diserbu wisatawan lokal yang sekadar mau jalan-jalan bersama keluarga.

Begitu menyentuh airnya, brrrrrrrrrrrrr, dingin sampai ke tulang! Di lokasi tempat saya memutuskan untuk stop memang tidak ada air terjun tingginya, tapi sepi, bersih dan bisa leluasa berenang karena ga ada orang! Jadi walau keliatannya dangkal, tapi di bagian tengah antara 2 batu itu merupakan spot yang cukup dalam, hampir 2 meter! Makanya ada tali yang disangkutkan di pinggiran batu. Nah disitulah lokasi kalo kamu mau berenang bolak balik asalkan kuat sama dinginnya. Saya sendiri dapetlah 2 kali bolak balik sambil pegangan tali dan gak henti-henti minta ditungguin teman saya di ujung yang jago berenang, hahahhaa.

Puas berenang, kalo lapar ada warung yang siap melayani pesanan indomie! Surga banget kaaannn :p Hampir di tiap spot air terjun ada banyak warung kok, jadi gak perlu khawatir kelaparan. Bawa bekal sendiri juga oke, asalkan sampahnya dibawa turun lagi pas pulang woii. Nah, ada beberapa yang tanya apakah tempat ini ramah dan aman untuk anak-anak? Tentu saja! Kemarin teman saya bawa anaknya yang belum 1 tahun dan girangnya bukan main. Paling butuh tenaga lebih buat gendong sampai lokasi dan juga Ayah Bunda tidaks boleh lengah sedikitpun saat berada di air, karena anak-anak kan aktif ya Bunddd.

Safety First

Seindah apapun tempatnya, kita tetap harus ingat, ini adalah air terjun. Saya sarankan jika mau kesana pilih hari saat cuaca cerah dan tidak ada kemungkinan hujan. Juga saat di lokasi, perhatikan batu-batu di dasar agar tidak luka kena kaki ataupun bagian tubuh kita yang lain. Kalo bisa yang gak biasa jalan, latian dulu dirumah joging pelan-pelan sebelum kesini. Pulang dari sini, betis saya sakit 4 hari baru balik normal walau kalo ini kayaknya faktor usia sih heu heuu tuwaaa.

Satu lagi yang gak kalah penting, ini tips traveling yang selalu saya sampaikan,

Jangan liburan

di hari LIBUR

Selamat bertualang !

Bersemayam di Trunyan (Part 2)

Menembus kabut, membelah danau, merogoh kocek untuk menumpas rasa penasaran, dan sepadan

Desa Trunyan berlokasi di Kecamatan Kintamani, tepatnya di tepi Danau Batur. Terdapat 2 jalur menuju Desa Trunyan. 1 via darat dengan jalan memutar, 1 lagi dengan menyeberangi Danau Batur naik perahu. Saya pilih opsi kedua, karena dari beberapa rekomendasi umumnya untuk ke Desa Trunyan memang dengan menyeberang. Lagipula, kayaknya seru gitu membelah Danau Batur yang sangat indah dengan arus yang tenang dan agak berkabut karena cuaca di sekitar danau sangat sejuk bahkan cenderung dingin. Mungkin karena posisi Danau Batur yang terletak disekitar Gunung Batur yang masih aktif.

Perjalanan dimulai dengan menyewa perahu dari Dermaga Kedisan bertarif 900 ribu rupiah untuk pulang-pergi ke Desa Trunyan. Yakkk, 900 ribu! lumayan banget heu heuu. Sebaiknya memang bisa patungan dengan beberapa wisatawan lain agar biaya sewa perahunya bisa dishare. Harga ini sudah termasuk dengan tour guide yang akan memandu kamu ke Desa Trunyan terlebih dahulu dan setelah itu mengantar ke makamnya. Perjalanan menyeberangi Danau sekitar 30 menit dengan perairan yang tenang (beda banget kalo nyebrang di laut yaaakk :().

Pertama-tama, tour guide mengantar saya ke Desa Trunyan, dimana tinggal para penduduk asli Desa Trunyan. Saat saya melintas untuk melihat-lihat, terdapat Sekolah Dasar disini. Sedangkan untuk tingkatan lainnya mungkin harus bersekolah di desa tetangga.

Menyeberangi Danau Batur

Di Desa saya harus mengisi daftar tamu dan memberi biaya masuk seikhlasnya yang saya kira sudah termasuk dengan paket sewa perahu tadi.

Kemudian setelah berkeliling di Desa, baru kami menuju Terunyan Cemetery yang ternyata harus dijangkau dengan naik perahu karena letaknya bukan di Desa tetapi tersendiri. Sekitar 5 menit, kami sudah tiba di lokasi. Ada semacam dermaga kecil di pintu masuk makam untuk menambatkan perahu. Nah, kisah pengalaman saya di Makam Trunyan ini boleh dibaca di Part 1 nya yaaaaaaa https://wordpress.com/post/pelanglangbuana.id/29

Penampakan dari luar memang makam ini terlihat mistis banget yak, pas udah di dalemnya juga si, hehe. Tapi tour guide saya bener-bener memperhatikan tamu-nya sehingga perasaan was-was bisa diatasi. Yang paling penting memang kita tetap menjaga kesopanan dimana pun kita berada, apalagi ditempat sakral dan penuh tradisi seperti ini. Seperti sebuah pepatah lama,

Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung

Sooo, buat kamu yang suka ke Bali, bolela cari alternatif wisata selain pantai, pantai, dan pantai. Mempelajari tradisi di Desa Trunyan dan sekitar Kintamani bisa jadi opsi. Atau sekadar berlibur di tepi Danau Batur, pemandangannya menawan, dan sepadan.

Bersemayam di Trunyan (Part 1)

Jika diijinkan membawa satu benda kesayangan ke alam baka, apa pilihanmu?

Namanya saja “jika”, artinya kita boleh berandai-andai. Karena di agama saya memang tidak diperkenankan membawa benda apapun ke dalam kubur. Tapi bagi penduduk Desa Trunyan atau di beberapa agama lain hal ini sudah lumrah. Nah, selain benda-benda kesayangan yang dibawa ke ke peristirahatan terakhir penduduk Trunyan, hal menarik lainnya dari Desa Trunyan adalah cara pemakaman penduduknya yang tidak biasa kalo tidak bisa dibilang seram unik.

Desa Trunyan merupakan salahsatu desa tertua di Bali berlokasi di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Propinsi Bali. Desa Trunyan dikenal dengan wisata mistisnya karena di Desa ini terdapat 1 tempat khusus untuk pemakaman penduduk asli Trunyan dengan cara “diletakkan” dibawah Pohon Trunyan. Walaupun masih ditutupi semacam bambu, tetapi jenazah hanya ditutupi kain (tidak dikubur) dan akan dibiarkan hingga tersisa tengkorak dan tulang-belulangnya saja. Dan ajaibnya, tidak tercium bau apapun walau ada mayat bergelimpangan (secara harfiah ya ini :(), bahkan cenderung wangi. Hmmm, beneran mistis ya vibesnya :p

Ngeri tapi penasaran, saya memutuskan untuk mengunjungi Trunyan beberapa waktu lalu. Layaknya kodrat manusia banget ga si ini, udah tau ada sesuatu yang belum jelas atau sekiranya membahayakan, malah disamperin sekalian 😦 Contoh lainnya, udah tau takut hantu, tapi pingin nonton film horror ngajakin orang sekampung. Atau dulu ada bom di ibukota, netizen malah kepo pingin liat sambil makan kacang rebus yang abangnya siaga deket TKP. Heu heuu seru yak.

Pohon Trunyan

Kembali ke Trunyan, jadi setelah sampai disana, saya mendapat penjelasan dari tour guide setempat mengenai Desa Trunyan dan tradisi atau adat istiadat mereka yang sangat unik ini. Adapun tidak terciumnya bau mayat atau jenazah di pemakaman ini karena adanya sebuah pohon yang sangat besar di pemakaman tersebut yang disebut Taru Menyan, Taru = Pohon, Menyan = Harum. Yak, pohonnya cuma 1 dengan batang yang sangat besar dan daun yang sangat rimbun. Dipercaya, akar dari pohon ini yang membuat mayat tidak berbau.

Jika dilihat, luas pemakaman Trunyan tidak terlalu besar seperti pada umumnya. Tetapi entah mengapa, ribuan jenazah yang sudah “diletakkan” disana tidak membuat makam tersebut menjadi penuh. Tour Guide menyampaikan, tidak semua penduduk Trunyan yang dapat dimakamkan disana, hanya penduduk yang meninggal dengan cara wajar. Sedangkan untuk warga yang meninggal karena kecelakaan atau bunuh diri ada tempat tersendiri. Terakhir, ketika saya datang ada sekitar 9-11 jenazah yang belum lama “diletakkan” dalam 1 “batch”. Beberapa diantaranya masih menampakkan kulit yang cukup segar membuat saya takut untuk mengintip, tapi tetap saya lakukan. Dasar Manusiaaaaaaaa 😦

Benda Kesayangan

Ada hal yang mengganggu saya ketika sampai dimakam. Yaitu banyaknya benda-benda yang berserakan di tanah. Hingga saking gatalnya mulut ini lancang bertanya kepada Tour Guide, “Bli, kenapa ya di makam ini banyak sampah?” Ketika akhirnya dijawab, seketika itu juga saya menyesal sudah bertanya. Astagaaa mulut ini bisa gak sii jangan banyak cinconggg 😦 😦 Jadi, benda-benda berserakan yang saya kira sampah ternyata adalah benda-benda kesayangan dari jenanzah-jenazah yang dimakamkan disana 😦

Tapi, kalo mau membela diri, rasanya wajar jika saya mengira begitu. Karena yang saya lihat diantara benda-benda itu mulai dari botol handbody, sisir, sampo, piring, dan berbagai benda keseharian lainnya. Yang tidak salah juga jika itu dikategorikan benda kesayangan semasa jenazah hidup. Karena kita semua pasti punya benda kesayangan masing-masing kan?

Namun setelahnya, tak henti-henti saya meminta maaf pada Tour Guide saya dan juga dalam hati sambil komat kamit berkali-kali :(. Dalam hati saya berjanji lain kali lebih berhati-hati apalagi saat mengunjungi tempat-tempat sakral seperti ini. Nahh, walau begitu, hal ini kembali membawa saya pada pertanyaan saya di awal, Jika diijinkan membawa satu benda kesayangan ke alam baka, apa pilihanmu? Hmmm, rasanya saya akan membawa handphone saya saja. Bukankah di jaman sekarang, di dunia fana saja lebih baik tidak bawa dompet daripada tidak bawa handphone ? Kalo kamu? Jangan bilang poster BTS :(, walau gapapa juga si, siapa tau bisa bantuin bayar tagihan yang masih tertinggal, di Tokopedia :p

Well, setelah keunikannya, saya akan membahas akses menuju Desa Trunyan di Part 2 !